Minggu, 18 November 2007

Jumat, 16 November 2007

Refleksi Kritis Pembelajaran Matematika

Oleh : Mansur (WI LPMP Prov.Maluku)
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh.
Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.
Sudah bukan rahasia bahwa banyak diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik baginya bahkan bisa jadi guru tesebut tidak mengenal matematika secara memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan secara utuh melainkan hanya bagian – bagian yang ”dikuasainya” dan meninggalkan bagian-bagian yang lainnya. Inilah kemudian yang menjadi awal mengapa begitu banyak anak-anak gagal menyelesaikan rumah-rumahan kartu mereka dan dengan itu pula anak-anak merasa ”frustasi” dan tidak lagi bergairah belajar matematika.
Refleksi SejarahDi abad pertengahan, ketika Eropa mengalami zaman kegelapan (Dark Ages), negeri-negeri Muslim justeru sedang memulai masa pencerahan budaya, sepanjang Cina di Timur, Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat Daya, hingga pantai-pantai Samudra Atlantik. Hampir lima abad lamanya, sejak awal abad ke delapan hingga pertengahan abad ke 12, kaum Muslimin memegang kepemimpinan intelektual dengan perkembangan yang sangat mengagumkan, bahkan belum pernah terjadi pada masa-masa kejayaan Yunani sebelumnya.
Berbicara tentang sejarah kebangkitan intelektual kaum Muslimin dalam kurun waktu tersebut adalah sungguh menarik dan tidak mungkin dapat diuraikan dalam kolom kecil ini. Namun hal yang penting untuk dicatat dalam pesan historis tersebut adalah bagaimana kemudian Imperium Islam ketika itu memulai era budaya dan ilmu pengetahuan termasuk perkembangan ilmu matematika yang pada akhirnya tidak saja untuk komunitas Islam tetapi untuk seluruh umat manusia.
Jejak sejarah tersebut menunjukkan bahwa kunci kesuksesan peradaban Islam dalam periode yang sering disebut ”zaman keemasan” tersebut yaitu tumbuh suburnya tradisi ilmiah di kalangan ilmuwan yang tidak memandang agama ataupun ras. Kegiatan penterjemahan dan riset mendapatkan dorongan dan dukungan yang kuat dari Khalifah yang didukung oleh keuangan negara. Para penguasa ketika itu mengerahkan seluruh akses yang dimiliki untuk mengembangkan kegairahan yang luar biasa dalam mengejar ilmu pengetahuan. Bahkan para Khalifah meninggalkan istana untuk ”mengurung diri” di perpustakaan dan ruang observatorim, mengikuti perkuliahan dan membicarakan masalah matematika dengan para ilmuwan. Maka hasilnya sangat mengagumkan, sederetan nama – nama muncul sebagai genius matematika yang tidak saja dikenal oleh orang Islam tetapi mereka sangat terpandang dalam dunia keilmuan di Barat hingga kini. Sebut saja misalnya Al-Khwarismi, Ibn Al Haytham, Al Biruni, dll.
Satu hal lagi yang sangat menarik bahwa matematika dalam kurun ”zaman keemasan” itu, adalah salah satu bidang ilmu yang paling digemari karena ada kaitannya dengan kebutuhan religi, misalnya untuk menghitung warisan dan kalender Islam, penentuan waktu shalat, menentukan waktu yang akurat dari gerakan bulan dan bintang, dan sebagainya. Sebagaimana diungkap oleh Mohaini Mohamed (2001) bahwa matematika menjadi kegemaran utama bagi kaum muslimin ketika itu karena bidang itu menggabungkan kesatuan dan karakter abstrak dari pemikiran Islam. Matematika tidak dianggap sebagai ajaran sekuler, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyalurkan pemahaman pada bidang yang dapat dimengerti. Matematika, menurut kaum muslimin merupakan kunci menguak misteri tentang Tuhan.
Antusiasme relegius yang digambarkan diatas sekaligus menorehkan prinsip matematika dari sudut transendental bahwa Tuhan ada di segala tempat di alam semesta yang di dasarkan pada prinsip kepastian. Maka seperti yang dibukukan dalam sejarah, perkembangan dan produktivitas matematika terutama pada abad sembilan dan sepuluh seolah mengalami keajaiban yang luar biasa dikalangan matematikawan Islam yang beberapa diantaranya disebutkan tadi.
Matematika kita, Kini dan Disini Perspektif sejarah yang diungkap secara singkat di atas kiranya bisa menjadi referensi kecil untuk merenungkan bagimana potret matematika kita disini, saat ini. Sudahkan kita (pemerintah, masyarakat, politisi, semua elemen bangsa ini) memberikan apresiasi secara memadai terhadap persoalan matematika di negeri ini? Saya cenderung menjawabnya ”belum”. Pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita hingga saat ini ibarat benang kusut yang sulit diurai. Kita masih berkutat di sekitar persoalan pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran matematika, alat peraga dan sebagainya, dan beriringan dengan itu kita dihadapkan kepada kenyataan kemampuan para guru matematika kita yang belum memadai. Kita seolah mundur beberapa abad dan baru mulai meraba-raba seperti apa pembelajaran matematika yang kita butuhkan. Kita tidak lagi punya kesempatan yang luas untuk mengembangkan proses pembelajaran kita ketingkat yang lebih tinggi (lebih bermakna) semisal membawanya kepada pesan transendental sebagaimana capaian-capaian yang ditunjukkan para pendahulu kita beberapa abad yang lalu.
Kemelut itu bahkan tidak berakhir sampai disitu. Ketika kita kemudian berpikir tentang inovasi, kita masih terperangkap dalam situasi jangka pendek. Ada terget standar kelulusan pada ujian nasional – misalnya -- yang menjadi acuan penilaian keberhasilan pembelajaran di sekolah. Maka kemudian kita gulirkan program –program ”instan” untuk mengatasi persoalan Ujian Nasional tersebut. Dari tahun ke tahun, hampir semua sekolah menyiapkan program khusus untuk mengantisipasi ujian nasional tersebut. Akhirnya kita sulit membantah ketika ada tudingan bahwa pembelajaran di sekolah ”ujung-ujungnya” adalah untuk melayani kebutuhan ujian dan kelulusan peserta didik. Guru masih kesulitan untuk beranjak dari peran klasiknya sebagai penerus pengetahuan dan membantu para siswanya untuk naik kelas dan lulus ujian. Sebagai implikasinya, pembelajaran matematika, sebagaimana juga mata pelajaran lain di sekolah saat ini belum banyak menggarap dan mengembangkan sikap kritis serta kemandirian siswa. Ujian Nasional seolah telah menjadi kiblat pembelajaran di sekolah. Sebagian besar energi tersedot untuk kepentingan itu. Singkatnya, penjelajahan kita di bumi pembelajaran matematika masih terbatas pada issu-issu yang kecil dan parsial. Ini sesuatu yang paradoksal, ketika kita ingin menggagas sebuah inovasi dengan perspektif jangka panjang dan strategis, disaat yang bersamaan kita dihadang oleh beban-beban jangka pendek yang sangat pragmatis, dan keduanya tidak selalu persis berada pada garis yang sama. Sayangnya kita justeru selalu terjebak pada situasi yang kedua.Restarting : Bercermin pada kekuatan kita
Seharusnya kita sudah ”jenuh” dengan berbagai data tentang kelemahan dan kekurangan bangsa kita pada berbagai sektor kehidupan. Kita sudah lelah memandangi potret buram pendidikan kita. Namun, Impactnya secara positif dari sajian fakta-fakta tersebut ternyata tidak muncul. Bahkan hal itu sering menjadi bahan tertawaan kita sendiri. Alih-alih merasa ”terketuk” dengan kenyataan tersebut, malah dikhawatirkan justeru melemahkan self confidence kita. Menyikapi hal tersebut saya menyarankan untuk melakukan semacam restarting. Yaitu dengan cara menanggalkan bayangan-bayangan kelemahan dan kegagalan dan mulai fokus kepada kekuatan yang kita miliki. Dengan cara menumbuh suburkan self confidence dan mulai mengurangi kekaguman yang berlebihan terhadap semua ”produk” dari luar. Terkait dengan pembelajaran matematika misalnya, kita masih memiliki peluang besar untuk melakukan inovasi secara optimal. Eksistensi PPPG atau PPPPTK Matematika dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan simbol sekaligus situs yang sangat strategis untuk menggagas dan mengembangkan konsep-konsep inovasi pembelajaran matematika sesuai dengan karakteristik dan realitas permasalahan pendidikan matematika yang dihadapi. PPPG matematika memiliki SDM yang tangguh dan networking yang luas dan hal itu cukup memadai untuk melahirkan suatu inovasi dalam pembelajaran matematika. Dengan melakukan starting pada wilayah kekuatan kita, berbasis pada permasalahan esensial yang kita hadapai, plus menyerap muatan-muatan dari berbagai referensi yang relevan, maka peluang kita akan lebih besar untuk melahirkan konsep yang aplicable dan responsif terhadap kebutuhan permasalahan pendidikan matematika di sekolah kita. RME versi Belanda, CTL gaya Amerika dan model-model lainnya tetap sangat berharga sebagai rujukan, namun model pembelajaran matematika khas Indonesia sudah saatnya digagas dan dikembangkan.
Ambil contoh RME-nya Belanda, kalau kita mencoba melakukan hal serupa meskipun dengan perubahan kemasan disana sini, katakanlah menjadi PMRI, maka kita tidak akan pernah dapat bersaing dengannya, sebab starting kita berbeda, mereka tidak mempunyai beban sejarah dan tidak dihantui oleh potret buram pendidikan yang terpuruk, dan juga tidak sedang dihadapkan kepada resistensi dari beban-beban jangka pendek sebagaimana di singgung di atas. Sikap Kritis dan Kemandirian
Di zaman agraris hingga era industri, peran sekolah begitu dominan dan sosok guru sangat sentral dalam urusan pembelajaran. Di era tehnologi komunikasi dan internet fenomena tersebut mengalami pergeseran yang cukup jauh. Dominasi sekolah memudar seiring dengan lahirnya revolusi yang spektakuler dibidang ICT yang didukung oleh jaringan internet yang semakin meluas, mudah dan realtif semakin murah. Ini sebuah isyarat yang kuat bahwa tanpa bermaksud mengecilkan makna kehadiran sekolah formal namun saat ini dan kedepan, banyak cara yang memungkinkan seseorang bertumbuh secara intelektual bahkan mungkin juga secara emosional, dan sekolah hanyalah salah satunya dan bisa jadi sekolah bukan lagi pilihan yang terbaik kecuali jika sekolah mampu dan mau secara terus menerus melakukan inovasi yang benar-benar inovatif. Kita liat faktanya bahwa dengan mengakses Net, seorang anak seketika berhadapan dengan sebuah dunia yang sama sekali berbeda bahkan mungkin belum dikenal oleh orang tua maupun gurunya. Berjuta informasi tersedia disana. Dan anak tersebut bisa mengembangkan jaringan sosialnya secara tak terbatas melalui Net. Maka dalam konteks itulah sesungguhnya pembelajaran di kelas harus mencakup dua domain yang penting yaitu pembentukan sikap kritis dan kemandirian siswa. Matematika, dengan karakteristik keilmuannya yang sangat logis, kritis, analitis, serta penuh dengan aktivitas komunikasi dan penalaran, seharusnya bisa menjadi alat yang efektif untuk membangun kedua kemampuan dimaksud. Sikap kritis dan kemandirian harus dijadikan issu penting dalam pemblajaran matematika dan juga mata pelajaran lain karena peluang yang begitu besar yang ditawarkan oleh Net bisa diibaratkan pedang bermata dua, salah menggunakan pasti akan menjadi korban.

Sebagai bangsa kita memang telah mangalami multi krisis yang luar biasa tetapi itu belum berarti ”kiamat” karena kita masih punya ruang yang amat luas untuk menyatukan seluruh potensi yang mungkin masih berserakan, dan dengan itu pula kita membangun optimisme untuk membimbing anak-anak kita membangun utuh rumah-rumahan kartu mereka untuk menuju rumah yang sesungguhnya yaitu sebuah masa depan yang bermartabat.